Minggu, 28 September 2008

Kebutuhan Atau Keinginan?

Hari ini, Sabtu 28/9/08, aku harus membujuk kedua anakku agar tidak mengomel, mogok makan, mengacau dan aksi-aksi kekacauan pemberontak lainnya. Pasalnya, mereka gagal menonton film Laskar Pelangi (LP).
LP mulai diputar di Jogja tanggal 25 (9/08). Hari inilah kesempatan anak-anak menonton. Sebelumnya, mereka sudah membaca resensi film di koran anak. Di sekolah, mendengar kesan-kesan menonton LP dari teman-teman sekelas. Di TV, melihat cuplikan dan ulasan LP. Lengkap sudah informasi tentang LP yang nyantol di otak kedua anakku. Mereka terobsesi.Lebih tepat, kedua anakku jadi termakan propaganda lewat media. Begitulah kekuatan media. Bisa meracuni orang per orang dan menuai efek multiplikasi informasi. Seseorang yang memperoleh informasi akan menyampaikannya pada orang lain.
Apakah menonton LP menjadi kebutuhan (demand) kedua anakku? Belum. Itu masih keinginan (need). Bagiku, keinginan baru akan menjadi kebutuhan manakala kita sudah memiliki sumberdaya (effort/capacity; waktu, uang, dan sebagainya) yang memadai untuk mencapai keinginan itu.
Jadi jangan pernah mengatakan "sesuatu" sebagai kebutuhan jika Anda tidak memiliki peluang untuk mencapainya.
Tanggal 25, aku belum punya duit untuk beli tiket. Tanggal 27, ada duit tapi tidak ada waktu. Sebab anakku harus menonton pada pemutaran jam 13.00 agar pulang nonton tak kemalaman Tanggal 18, hari sabtu, inilah saatnya. Pagi sebelum mengantar anak ke sekolah, kami merundingkan rencana nonton. Istriku, akan mengantri beli tiket jam 10.00. untuk pemutaran jam 13.00. Anak-anak pulang sekolah jam 12.00. Kami akan berangkat jam 12.30.
Wo ternyata, istriku tidak jadi ikut mengantri tiket. "Antriane dowo banget. Tur sing diantri tiket nggo jam sepuluh bengi," katanya menceritakan. Terlalu panjang antrean dan tiket yang diantri untuk pemutaran jam sepuluh malam.
Seperti melihat hantu siang bolong, kedua anakku langsung bengong.
Aku malah sibuk menduga-duga, mungkin ribuan orang di Jogja telah memiliki keinginan nonton LP, dari media. Kemudian mereka menjadikan keinginan itu sebagai kebutuhan. Artinya, media juga bisa menjadi alat menciptakan kebutuhan.
Jelas kedua anakku tak mau terima. Keduanya memberontak? Jangan tanya, karena itu masalah genetika.Naluri turun-temurun.

Jumat, 26 September 2008

Masyarakat Berketahahan, Seperti Apa?

Aku baru saja baca bukunya John Twigg, Resillience Community, atau masyarakat yang berketahanan terhadap risiko bencana. Twigg, dengan gaya metodis-nya menuturkan ciri-ciri masyarakat yang memiliki ketahanan adalah masyarakat yang begini, begitu, beginu, dst, dst Semua-muanya dalam konteks yang ideal. Indikator-indikator ketahanan yang digagas Twigg seperti gambaran masyarakat di sebuah sudut di surga. Semuanya sudah paham dan mau terlibat dalam pengelolaan risiko bencana kolektif. Betul. Terlalu ideal dan belum tentu nyambung dengan konteks Indonesia. Lalu?

Aku melakukan kompromi. Bagaimana kalau diuji di komunitas G. Merapi. Bukan komunitas yang diuji dengan indikator Twigg, tapi sebaliknya, indikator Twigg disandingkan dengan komunitas G. Merapi yang -dalam beberapa hal- sudah pantas dinilai memiliki ketahanan pada bentuknya sendiri. Dan -yang tidak boleh dilupakan- ketahanan yang "on their own effort". Yah, betul, memusingkan.

Ngomong-ngomong soal indikator seperti Twigg, aku punya jalanku sendiri. Bagiku komunitas yang berketahanan adalah komuntas yang bisa menertawai nasibnya sendiri. Mereka paham pada ke-tidak-menentu-an hidup. Hari ini untung, besok bisa buntung. Semuanya dihadapi dengan tertawa.

Kamis, 25 September 2008

Kesenjangan Global. Bank Dunia: 2,5 Milyar Penduduk Dunia Berpenghasilan Kurang Dari 2 Dollar Sehari

Bank Dunia memperkirakan pada tahun 2005 sekitar 1,4 milyar orang di "negara membangun", atau seperempat dari total penduduknya, hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 dollar sehari. Angka penghasilan 1,25 dollar merupakan garis kemiskinan baru yang resmi digunakan Bank Dunia. Temuan itu mengejutkan karena melebihi 400 juta dari jumlah yang diperkirakan oleh lembaga itu pada tahun 2004. Angka perkiraan Bank Dunia tahun 2004 penduduk di bawah garis kemiskinan hanya sekitar 985 juta orang. Sedangkan 1,2 milyar lainnya berpenghasilan antara 1,25 hingga 2 dollar sehari.
Laporan tersebut merekomendasikan perlunya indakan-tindakan korektif atas sistem keuangan global. Namun Sebagus apapun yang dapat dilakukan Bank Dunia untuk memperbaiki ketimpangan ini, jumlah penduduk miskin 2,5 milyar adalah fakta bahwa sistem kapitalis telah gagal.
Martin Ravallion dan Shaohua Chen, dari World Bank's Development Research Group, dalam studinya berjudul "Negara Membangun Lebih Miskin Dari Perkiraan Kita, Tapi Pemerangan Kemiskinan Kurang Berhasil", menyatakan bahwa pada tahun 2004, untuk pertamakalinya, perhitngan angka kemiskinan Bank Dunia meleset di bawah 1 milyar.
Kemudian mereka menegaskan bahwa perkiraan tersebut sangat prematur. "Kami menemukan bahwa kemiskinan di dunia lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya".
Perkiraan angka kemiskinan tahun 2005 diperoleh melalui suatu survay di 116 negara dan wawancara kepada sekitar 1,23 juta rumahtangga.
Kemiskinan yang parah ditemukan di Afrika Sub-Sahara. Dimana selama seperempat abad (1981-2005) persentase penduduk miskin di kawasan ini tidak pernah berubah; 50 persen dari jumlah penduduk berpenghasilan hanya 1,25 dollar atau bahkan kurang.
Jumlah penduduk miskin di Afrika Sub-Sahara selama 1981 hingga 2005 bertamah dua kali lipat. Dari 200 juta penduduk miskin pada tahun 1981 menjadi 380 juta pada tahun 2005. "jika kecenderungan ini terus berlanjut," sebagaimana ditulis dalam keterangan pers Bank Dunia, "maka pada tahun 2015 sepertiga penduduk miskin dunia akan berada di Afrika."
Limabelas besar miskin dunia berada di Afika yaitu Malawi, Mali, Ethipia, Sierra Leone, Niger, Uganda, Gambia, Rwanda, Guinea-Bissau, Tanzaniaajikistan, Mozambique, Chad, Nepal dan Ghana. Di Asia, persentase penduduk berpenghasilan dibawah 1,25 dollar sehari telah menurun dari 60 persen menjadi 40 persen sepanjang 1981 hingga 2005, tetapi penduduk dengan katagori kemiskinan absolut tidak berkurang; sekitar 600 juta. Di India, penduduk miskin (berpenghasilan dibawah 1,25 dollar sehari) berkurang dari 60 persen di tahun 1981 menjadi 42 persen di tahun 2005. Tetapi angka penduduk yang hidup lebih menderita justru naik; 420 juta pada tahun 1981 menjadi 455 juta pada tahun 2005.
Faktor terbesar yang menyebabkan penurunan persentase penduduk miskin Di Asia Selatan adalah ledakan industrialisasi di China. Pada 1981 Asia Selatan merupakan benua termiskin di dunia. Di China, jumlah penduduk yang hidup dengan penghasilan 1,25 dollar sehari pada tahun 2005 telah jauh bekurang. Tahun 1981 jumlahnya 835 juta menjadi 207 juta pada tahun 2005. Seperempat abad lalu penduduk miskin di China (diukur dari persentase dibawah 1,25 dollar sehari) jumlahnya dua kali lipat. Namun sejak era 1990-an kemiskinan di China berkurang drastis hingga dibawah angka rerata.
Di negara-negara bekas penjajahan kolonial, perkembangan terjadi lebih lambat. Jumlah penduduk miskin di negara-negara ini masih tetap sekiatar 1,2 milyar. Menurut Bank Dunia, penduduk miski absolut di negara-negara ini turun dari 40 persen tahun 1981 menjadi 29 persen tahun 2005.
Sumber:
http://www.wsws.org/articles/2008/sep2008/pove-s02_prn.shtml

Si Mulut Usil

Minggu siang (21/9/08), di suatu pemancingan desa Sitimulyo. Tiba-tiba aku mendengar seseorang melontarkan kata-kata pedas dari belakangku. "Mancing wae, opo ra nduwe gawean," begitu katanya sambil ngeloyor. Mancing saja, apa tidak punya pekerjaan. Begitu kira-kira padanannya dalam bahasa Indonesia. Jelas kata-kata itu ditujukan padaku. Karena hanya aku pemancing yang nongkrong di pematang sisi jalan setapak orang tadi lewat.
AKu tak bisa menentukan apakah itu kalimat pertanyaan atau kalimat tuduhan. Yang kupikirkan seketika itu, justru dia sendiri yang tidak punya pekerjaan. Kenapa tanya-tanya atau nuduh orang sembarangan? Kalau mau lewat ya lewat saja. Aku terus memancing.
Menjelang sore, belum seekor ikan pun kudapat. Mulai lelah, aku jadi teringat kata-kata pedas orang lewat tadi. Si Mulut Usil, begitu aku menjulukinya. Sakit hati? Ya. Tapi mau apa?
Aku mulai tergoda untuk menerka-nerka tujuan Si Mulut Usil. Ooo, jadi memancing itu, oleh sebagian orang dianggap kegiatan buang-buang umur. Maksudnya menyia-nyiakan waktu. Mending kerja, bisa dapat penghasilan. Atau membaca buku, surfing, dan sebagainya yang dianggap lebih bermanfaat. Daripada mancing!
Berarti memancing itu tidak bermanfaat? Tidak juga. Buktinya ada nelayan yang kerjanya memancing. Memancing bagiku kegiatan rekreatif yang memiliki efek berbeda dari kegiatan rekreatif yang lain. Contohnya, memancing selalu menyisakan rasa tidak puas dan penasaran karena selalu ingin mendapatkan ikan yang lebih banyak. Apalagi kalau ada ikan yang sudah kena kail tapi lepas atau tali nilon putus. Lebih parah lagi kalau tidak dapat ikan samasekali. Pulang dengan mengumpat, tapi tidak kapok. Minggu depan mancing lagi, dengan umpan baru, strategi baru. Pada kegiatan rekreatif yang lain, sependek yang pernah kurasakan, tidak ada efek tantangan seperti itu. Malah sebaliknya, bikin kapok dan menyisakan penyesalan karena uang di dompet terkuras.
Selain murah, mancing itu juga memberi kesempatan berkontemplasi. Pada saat memancing, pikiranku biasa bergerilya menjelajah beragam permasalahan. Mulai dari pekerjaan, rencana-rencana, soal anak-anak, dan isu-isu sosial dan politik yang berkembang untuk direspon. Sering pula aku mengkhayalkan hal-hal jorok yang tidak etis dituliskan disini. Ngerti kan? Kalau Anda mengerti yang kumaksud tentang hal-hal jorok itu, berarti Anda juga sering melakukannya.Eh, maksudku mengkhayalkannya.
Secara psikologis, setiap orang membutuhkan waktu untuk menyendiri.Dengan memancing aku mendapat kesempatan dan kenikmatan menyendiri, untuk berkontemplasi, tanpa harus terlihat melamun. Jadi menurutku memancing itu sebuah teknik kamuflase yang jitu.
Tentang Si Mulut Usil, ternyata dia benar. Selain sibuk pasang umpan di kail, aku jadi terus berpikir mencari-cari pembenaran epistemologis memancing. Bahkan di rumah aku masih mau menuliskan kisah ini. Wah, aku memang benar-benar tidak punya kerjaan...Pembaca tulisan ini juga orang yang tidak punya, eh, kurang, kerjaan....

Jumat, 19 September 2008

Listrik Untuk Siapa?

Minggu (25/8/08) siang aku mendarat di Bandara Mutiara, Palu, Sulawesi Selatan. Banyak tentara dan polisi di bandara, juga sepanjang perjalanan. Sampai di sekretariat Jambata, listrik padam. Menurut teman-teman Jambata, listrik di kota Palu hidup tidak tentu. Dalam sehari hanya ”menyala” 4 atau 5 jam saja. Malam yang gulita menjadi cerita biasa.

Aku tinggal di hotel, listriknya pakai genset. Letak rumah genset persis di samping kamarku. Jadi karen listrik padam sepanjang malam itu, suara genset terdengar menggemuruh dari kamarku. Sepanjang malam tanggal 25 itu juga aku tidak bisa tidur.

Tanggal 26 pagi tiba-tiba di hotel banyak pria berambut cepak, berbaju hitam-hitam. O, rupanya presiden mau datang ke kota Palu. Mereka itu Paswalpres. Presiden SBY akan menghadiri suatu acara di kabupaten Donggala 28 Agustus 08.

Sepanjang malam tanggal 26, aku tidur nyenyak. Suara genset tidak pernah terdengar. Artinya sepanjang tanggal 26 listrik di kota Palu tidak pernah mati. Berlanjut sampai tanggal 27, hari ini. Teman-teman Jambata berkisah, semalam tadi mereka bisa mencuci pakai mesin cuci. Pompa sumur bisa mengalirkan air tanpa henti. Dan hidup menjadi lebih enak dibanding hari-hari biasanya. ”Kalau dulu saya menunggu kapan listrik hidup, hari ini saya tunggu kapan matinya ya”, kata seorang teman. Ini memang di luar kebiasaan.

Katanya, karena presiden mau datang, listrik disiapkan agar tidak mati. Beberapa unit genset kiloan watt didatangkan untuk menjamin suplai listrik 24 jam sehari. Katanya lagi, sejak minggu lalu 3 juta ton batubara untuk PLTU didatangkan dari Kalimantan. Semuanya untuk menjaga agar lampu tetap terang di kota Palu saat presiden berada di kota itu. Hebat bener presiden kita. Agar dia tidak kecewa, listrik dijamin dengan usaha ekstra keras. Sekeras apapun usaha yang dilakukan itu, ternyata bisa membuahkan hasil yang ikut dinikmati masyarakat Palu. Setidaknya sampai nanti tanggal 28.

Apa setelah tanggal 29 dan seterusnya listrik akan terus menyala? Kalau tidak, berarti usaha keras yang dilakukan hanya untuk cari muka saja. Supaya tampak tidak ada masalah dihadapan presiden. Masyarakat Palu sejumlah ratusan ribu nyandakada artinya Jo. Kita tunggu saja kelanjutannya.